Book Review : Laut Bercerita oleh Laila S. Chudori
Beberapa bulan belakangan ini sebuah buku karya Ibu Leila S. Chudori tengah menjadi buku yang cukup sering diperbincangkan. Oleh karena saat ini begitu marak Bookstagram (atau dengan kata lain para pemilik akun instagram yang kontennya berfokus pada buku). Banyak di antara mereka yang mereview buku ini sehingga membuat aku sangat tertarik untuk membacanya juga. Pada awalnya aku tidak kenal dengan nama penulis tersebut. Karena referensi buku yang kumiliki bagaikan katak di dalam tempurung. Yang mana hanya mengenal penulis-penulis ngetrend seperti Pramoedya Ananta Toer, Dee Lestari, Sapardi Djoko Damono, sebatas itu. Baru akhir-akhir ini aku mencoba untuk keluar dari kungkungan tempurung itu, dan mulai menekuri buku-buku lain selain karya penulis-penulis kecintaanku tersebut.
Boleh dibilang selera bukuku rada congkak juga, karena aku paling tidak suka buku menye-menye yang pembahasannya begitu dangkal. Ya setiap orang memiliki seleranya masing-masing, bukan berarti pembaca fiksi ilmiah dan fiksi sejarah menjadi kasta tertinggi dari kaum pembaca buku. Tidak. Setiap orang boleh mulai membaca apapun, bahkan jika hanya membaca komik atau membaca cerpen di koran. Mulai menumbuhkan kebiasaan membaca adalah hal yang baik, itu yang terpenting. Bukan hanya membaca pesan di Whatsapp atau membaca berita-berita dari akun lambe turah, tapi bacaan bacaan yang labih sarat akan esensi seperti cerpen dan lain sebagainya.
Buku Laut Bercerita ini juga tak jauh-jauh dari prasangkaku, aku takut kalau ternyata tidak sesuai dan hanya overhype. Tapi setelah membaca review dari salah seorang Bookstagram, akhirnya aku memutuskan untuk langsung checkout buku ini dari toko resmi Gramedia di Shopee. Tiga hari kemudian paket itu mendarat di tanganku dengan manis. Di hari itu juga aku langsung membaca dan melahap buku itu dengan rasa penasaran yang luar biasa.
Di paragraf awal, penulis sudah menyuguhkan kita pada sebuah adegan penyiksaan sang tokoh utama. Alur cerita yang dibawakan oleh tokoh utama juga maju mundur. Alias satu bab masa sekarang, satu bab kemudian masa lampau, satu bab selanjutnya masa sekarang, dan begitu seterusnya.
Dalam buku ini tokoh utama bernama Biru Laut. Sesuai judulnya, Laut memang memiliki cerita di setiap lapisannya. Mulai dari yang paling permukaan hingga yang paling gelap dan dalam. Tokoh utama dikisahkan sebagai seorang aktivis yang merupakan salah seorang dari anggota sebuah gerakan mahasiswa di salah satu Universitas di Yogyakarta. Biru Laut, berasal dari keluarga seorang wartawan surat kabar ternama di Jakarta. Memiliki ibu yang begitu pandai memasak dan seorang adik perempuan bernama Asmara Jati yang kelak menjadi seorang dokter.
Dalam buku yang bergenre fiksi sejarah ini, begitu banyak isu-isu yang diangkat oleh penulis. Termasuk kerusuhan '98 yang betulan terjadi beberapa tahun sebelum akhirnya kedudukan orde baru lengser. Kita semua paham bahwa pada masa kegelapan Indonesia pada saat itu, begitu banyak mulut yang dibungkam dan banyak tokoh-tokoh yang dihilangkan secara paksa. Banyak buku-buku terlarang yang tidak boleh dibaca ataupun dibicarakan di khalayak umum, karena itu sama saja menggali liang kubur sendiri.
Maka aku sampaikan terimakasih kepada aktivis yang pada saat itu berjuang mati-matian. Karena kegigihan mereka pula kita dapat menikmati sastra dan literasi pada hari ini. Tanpa harus takut kalau-kalau besok dipenggal mati oleh pihak-pihak tertentu, karena berdiskusi tentang karya-karya Pak Pramoedya Ananta Toer.
Pada buku ini dikisahkan bagaimana Biru Laut dan kawan-kawannya disiksa dengan tidak manusiawi oleh pihak yang tentu jelas berseberangan dengan Biru Laut dan kawan-kawannya. Dan pada bagian itu benar-benar membuka mataku, bahwa cerita ini bagaikan simulasi dari kondisi pemerintahan kala itu. Bengis, kejam, hanya seolah-olah demokratis.
Isu-isu feminis juga diangkat dalam cerita ini, disandangkan kepada tiga tokoh utama perempuan. Yaitu Kasih Kinanti, Asmara Jati, dan Ratih Anjani. Karakternya begitu kuat, begitu mendalam, dan aku sangat menyukai energinya. Boleh dibilang karakter yang aku sangat sukai adalah Asmara Jati. Namun ketiganya betulan mematahkan asumsi bahwa perempuan hanya pantas di dapur masak dan melayani suami. Ketiganya memiliki visi misi yang luar biasa bukan hanya demi Indonesia, tapi juga demi menciptakan lingkungan yang lebih baik dan berpengharapan untuk anak cucunya kelak.
Tentu tak semua cerita harus berakhir bahagia. Aku pribadi berharap bahwa Biru Laut akan menikah dengan Ratih Anjani dan memiliki anak. Hidup di sebuah Indonesia yang telah berbeda dan lebih bersahabat. Namun tidak begitu kehendak penulis. Hehehe...
Duka demi duka mendalam yang telah dialami oleh keluarga-keluarga aktivis yang ditinggalkan. Mulai dari beberapa tokoh yang boleh dibilang mendadak hampir gila, karena masih belum terima bahwasanya salah satu anggota keluarganya telah lenyap tanpa ada sepatah penjelasan apapun. Ataukah mati, ataukah masih disekap, ataukah mereka tersesat dan hilang ingatan. Mereka tersesat di dalam rimba rasa kehilangan yang begitu kejam, yang telah merampas akal sehat dan kehidupan. Tapi bagaimana pun aku mahfum, karena jika dikatakan mati keluarga pun tak tau dimana makamnya. Jika dikatakan masih disekap, mengapa hingga kini tak terdengar lagi kabar mereka yang hilang.
Buku ini luar biasa, sampai tidak ada lagi sisa rasa penyesalan karena sudah membelinya di akhir bulan. Hehehe
Bagi teman-teman yang mungkin masih maju mundur untuk membelinya, jujur nggak akan pernah ada ruginya. Buku ini setahuku juga sudah dibuat film pendeknya, dengan pemain-pemain film papan atas. Buku hard cover + illustrasi nya juga sudah ada di toko buku(tentu dengan harga yg lebih mahal) hehehe. Tapi ingin beli yang versi biasa atau hard cover sama saja, karena yang terpenting esensi buku ini tetap sama.
Sekian review dari pembaca buku amatiran ini.
Salam,
Dew.
Komentar
Posting Komentar